Gen Z berhasil menciptakan pola aktivisme baru di era modern.
Kalau dulu demo identik dengan poster dan megafon, kini mereka menggunakan humor dan hiburan sebagai senjata penggerak massa.
Meme, parodi, sampai live streaming jadi amunisi yang membuat isu serius terasa dekat dan mudah dipahami.
Inilah wajah baru aktivisme Generasi Z: entertainment-driven activism.

Sejak lama, generasi muda memang selalu punya peran penting dalam mendorong perubahan sosial dan politik. Mulai dari demonstrasi mahasiswa 1966 di Indonesia hingga Occupy Wall Street di Amerika tahun 2011.
Bedanya, Gen Z hidup di era digital yang penuh platform hiburan, dan mereka tahu betul cara menyulapnya jadi ruang perlawanan.
Melalui pola baru ini, aktivisme mereka justru jadi makin sulit dikendalikan.
Mereka bergerak cepat sekaligus sulit diprediksi, karena protes bisa muncul di mana saja, dari jalanan sampai ruang virtual.
Platform Hiburan Jadi Ruang ‘Perubahan’
Bagi Gen Z, hiburan adalah koentji untuk menjalani hidup.
Hasil riset UMN Consulting menunjukkan bahwa mencari hiburan adalah aktivitas dominan Gen Z di media sosial, di samping berkomunikasi.

Maka tidak heran, platform hiburan adalah tempat utama mereka untuk bersuara dan memobilisasi massa.
Ada 3 contoh nyata bagaimana Gen Z mengubah platform hiburan menjadi ruang protes:
1. Demo di Roblox
Roblox yang lebih dikenal sebagai platform main game, disulap jadi arena demonstrasi virtual pada aksi protes Indonesia bulan Agustus 2025 lalu.
Gen Z merancang map khusus di mana avatar mereka berkumpul, membawa spanduk digital, dan melakukan aksi bersama.
Walau terlihat konyol, ini menunjukkan kreativitas sekaligus kemampuan mereka menjadikan ruang virtual sebagai simbol perlawanan.
@kevinnramadhan
2. Voting Perdana Menteri Nepal di Discord
Gen Z Nepal memanfaatkan server Discord Youths Against Corruption yang dibuat oleh Hami Nepal sebagai ruang diskusi dan polling calon Perdana Menteri interim.
Lebih dari 100.000 anggota bergabung, dan pada 10 September 2025 sekitar 7.700 suara terkumpul dengan Sushila Karki meraih 3.833 suara terbanyak.
Dua hari kemudian, ia resmi dilantik sebagai PM interim menggantikan KP Sharma Oli.
Meski voting ini rawan disusupi partisipan non-Nepali karena tanpa verifikasi identitas, aksi ini menjadi simbol kuat aspirasi Generasi Z dalam ruang digital.
3. Live Streaming Demo Indonesia di TikTok
TikTok sempat menjadi salah satu panggung Gen Z Indonesia dalam menyuarakan aksi, sampai akhirnya fitur Live dinonaktifkan sementara pada 30 Agustus 2025.
Langkah ini diambil untuk mencegah penyebaran konten yang berpotensi memicu eskalasi situasi.
Dua hari kemudian, pada 2 September 2025, fitur Live kembali diaktifkan, menegaskan bahwa media sosial kini bukan hanya ruang hiburan, tetapi juga arena politik Gen Z yang cukup bikin penguasa ketar-ketir.
Kenapa Entertainment-driven Activism Efektif?
1. Virality Factor
Konten hiburan punya daya ledak yang luar biasa. Ketika demo dibawa ke TikTok atau Instagram, kemungkinan pesannya viral meningkat drastis.
Satu video singkat dari jalanan bisa ditonton jutaan orang dalam hitungan jam dan menembus batas negara.
Hal ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan Gen Z untuk mengikuti tren.
Riset UMN Consulting menunjukkan bahwa mengikuti tren adalah tujuan utama ketiga Gen Z dalam membuat akun media sosial, diikuti mencari hiburan.

Hal ini mendorong Gen Z untuk turut mengkampanyekan ide-ide perubahan yang muncul dalam bentuk sebuah tren.
2. Partisipasi Inklusif dan Praktis
Tidak semua orang bisa turun ke jalan, tapi semua orang bisa klik, share, atau ikut polling di media sosial.
Melalui aktivitas digital, Gen Z menciptakan partisipasi inklusif di mana aksi kecil seperti like atau retweet jadi bagian dari gerakan besar.
Sayangnya, terkadang aksi ini disalahpahami sebagai gerakan performatif. Bahkan muncul julukan baru untuk kalangan yang vokal di media sosial namun pasif di dunia nyata, yakni keyboard warrior.
Padahal, justru di era digital, pendekatan ini bikin kesadaran masyarakat semakin meluas dan gerakan semakin solid.
Masa Depan Aktivisme Generasi Muda
View this post on Instagram
Melihat pola yang ada, masa depan aktivisme tampaknya akan semakin lekat dengan dunia hiburan.
Isu-isu besar tidak lagi hanya disuarakan lewat poster atau orasi, tetapi juga melalui meme, tren, hingga video pendek.
Ini bukan berarti gerakan menjadi kehilangan substansi, justru sebaliknya, pendekatan ini membuat audiens lebih luas terhubung, termasuk anak muda yang dikenal apatis terhadap politik.
Namun, penting dicatat bahwa tidak semua hal bisa dikemas menjadi konten hiburan untuk mendekati generasi muda.
Demonstrasi pada Agustus lalu membuktikan bahwa Gen Z tidak melulu peduli dengan hal yang lucu.
Mereka menuntut pemerintah untuk tidak mengedepankan politainment (politic-entertainment), melainkan menunjuk seseorang berdasarkan kompetensinya.
“Dulu aku suka banget sama salah satu grup band karena musiknya bagus-bagus, tapi sekarang aku unfollow akun IG-nya karena beberapa personelnya tiba-tiba jadi politisi. Sayang aja sih, kan kompetensinya ada di musik, kenapa malah jadi tokoh politik? Nggak nyambung.”
Alyah Fridayanti (23 tahun).
Itulah Gen Z. Kekuatannya terletak pada kemampuannya menggabungkan kreativitas, teknologi, dan humor menjadi aktivisme yang segar. Mereka bukan hanya viral, tapi juga vital.



