Di ranah digital, kampanye politik bernuansa negatif berpotensi membuat Gen Z, yang merupakan bagian dari pemilih tahun depan, enggan menyalurkan hak suaranya.
Wajar saja, generasi ini menghabiskan lebih dari 8 jam sehari di dunia maya, dengan media sosial sebagai ruang rekreasi utama.
Paparan konten yang problematis secara terus-menerus bisa membuat mereka mengambil keputusan yang terburu-buru atau bahkan abai.
Namun, teknologi yang mempermudah praktik politik kotor bukanlah satu-satunya alasan di balik tingginya risiko golput di kalangan muda.
Riset UMN Consulting justru mengungkap faktor lain yang tak kalah penting.
Persentase Golput Gen Z pada Pemilu 2019 Rendah

Gen Z adalah penentu arah masa depan bangsa. Pilihan mereka di Pemilu 2024 akan mewarnai wajah Indonesia untuk lima tahun mendatang.
Bagi sebagian anak muda, pemilu tahun depan akan menjadi pengalaman pertama mereka di bilik suara. Sementara itu, ada pula yang sudah lebih dulu mencicipi pengalaman serupa pada Pemilu 2019.
Berdasarkan survei terhadap 802 responden berusia 15-24 tahun di wilayah Jabodetabek, UMN Consulting menemukan bahwa 48,25% Gen Z menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019, 4,86% memilih untuk golput, sementara 46,88% lainnya belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut.
Kabar baiknya, temuan ini sejalan dengan hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang mencatat bahwa tingkat golput pada Pemilu 2019 merupakan yang terendah sejak 2004, yakni 19,24%.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menunjukkan tren serupa: angka golput tercatat sebesar 23,30% pada 2004, meningkat menjadi 27,45% pada 2009, dan mencapai 30,42% pada 2014.
Jika pemerintah mampu menangkap aspirasi serta kebutuhan generasi muda, peluang untuk menurunkan angka golput di Pemilu 2024 semakin besar.
Apalagi, tingginya akses dan arus informasi di media sosial bisa dimanfaatkan untuk memperluas sosialisasi mengenai pentingnya partisipasi dalam pemilu.
Faktor Teknis Mendominasi Alasan Golput Gen Z

Menariknya, tingkat partisipasi Gen Z pada Pemilu 2019 justru bertolak belakang dengan maraknya seruan #SayaPilihGolput, yang saat itu ramai di media sosial sebagai dampak dari derasnya arus politik identitas.
Untuk memahami lebih jauh kecenderungan Gen Z, UMN Consulting menelusuri alasan di balik keputusan 4,86% responden yang memilih golput pada Pemilu 2019. Hasilnya, golput teknis dan golput politis menjadi alasan utama.
Menurut pakar politik Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, golput teknis terjadi ketika suara dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak tersalurkan karena kendala teknis.
Sebaliknya, golput politis muncul ketika pemilih merasa tidak cocok dengan pilihan yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu mampu membawa perubahan.
Berdasarkan temuan survei UMN Consulting, alasan teknis yang paling dominan adalah berhalangan hadir karena urusan pribadi (35,9%), berada di luar wilayah DPT (23,08%), serta tidak atau belum mendapatkan kartu pemilih (15,38%).
Sementara itu, alasan politis berada di urutan berikutnya: ketidakpercayaan bahwa pemilu mampu membawa perubahan (12,82%) menempati posisi keempat, diikuti ketidakselarasan visi-misi pasangan calon dengan ideologi pribadi (10,26%) di posisi kelima.
Dominasi golput teknis sebenarnya dapat diminimalisir. Salah satu langkahnya adalah dengan mengantisipasi mobilitas pemilih Gen Z yang melanjutkan studi atau bekerja di luar kota, bahkan luar pulau.
Temuan LPEM FEB UI menunjukkan bahwa pendidikan, selain faktor ekonomi, menjadi salah satu pendorong utama migrasi. Hal ini memperkuat alasan mengapa banyak Gen Z yang berisiko tidak dapat menggunakan hak pilihnya di daerah asal.

Maka dari itu, diperlukan sistem pemilu yang lebih fleksibel dan terintegrasi untuk menangani permasalahan golput teknis ini.
Usaha Mengikis Tingkat Golput

Dari uraian di atas, golput masih berpotensi menjadi polemik pada Pemilu 2024.
Pemahaman bahwa golput adalah bentuk ekspresi politik turut memperkuat kecenderungan ini.
Namun, perilaku tersebut tidak bisa dianggap wajar karena berisiko mencederai cita-cita demokrasi Indonesia.
Lihat postingan ini di Instagram
Bahkan, Pasal 515 Undang-Undang Pemilu secara tegas menyatakan bahwa mengajak orang lain untuk golput merupakan tindakan melanggar hukum.
Memang, data menunjukkan hanya 4,86% Gen Z yang golput pada Pemilu 2019. Akan tetapi, angka tersebut tidak boleh diremehkan.
Narasi provokatif di media sosial tetap berpotensi mendorong meningkatnya angka golput, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menguntungkan pihak politik tertentu.
Untuk menjawab permasalahan di atas, pemerintah perlu membekali Gen Z dengan pemahaman yang memadai mengenai situasi politik, konsekuensi hukum terkait golput, serta kesadaran akan pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu 2024.
Di sisi lain, penyelenggara pemilu, khususnya KPU, juga perlu mengembangkan sistem dan administrasi yang lebih adaptif terhadap kebutuhan anak muda guna meminimalisir terjadinya golput teknis.
“Harapannya, akan ada voting online yang transparan, jujur, dan adil di Pemilu 2024 nanti agar tidak ada kendala tempat dan waktu. Saya juga berharap, pemerintah memberikan edukasi mengenai pentingnya hak suara karena masih banyak yang merasa suaranya tidak bernilai.” (Theofilus Nicholas, 17)
“Kebijakan untuk memilih di luar daerah DPT harus dibarengi dengan data yang terintegrasi satu sama lainnya, sehingga orang yang sudah mencoblos nantinya tidak tumpang tindih atau dianggap tidak memilih. Selain itu, KPU dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di daerah dapat gencar melakukan sosialisai dan terjun langsung ke masyarakat melalui pengecekan langsung.” (Irfan Winaldi, peneliti UMN Consulting)
Karakteristik Gen Z yang melek teknologi, kritis, serta menjunjung nilai self-transcendence, yakni kepedulian terhadap kepentingan bersama, menjadi modal penting dalam menghadapi isu golput.
Karena itu, mengikis angka golput di kalangan Gen Z bukanlah hal yang mustahil.
Untuk mendapatkan insight lebih mendalam mengenai Gen Z, hubungi UMN Consulting. Temukan juga analisis lanjutan dalam report kami “Antusiasme Gen Z terhadap Pemilu Indonesia 2024” pada page reports.
Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan pada 1 April 2023 di situs lama UMN Consulting.


